Jumat, 02 Februari 2018

Mengulas Biografi Tentang Ibu Dewi Sartika

Mengulas Biografi Tentang Ibu Dewi Sartika




Biolog Indonesia 241 - Dewi Sartika lahir di Bandung, 4 Desember 1884, serta wafat di Tasikmalaya, 11 September 1947 pada usia 62 th.. Beliau yaitu tokoh perintis pendidikan untuk golongan wanita, disadari jadi Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia th. 1966. Ayahnya, Raden Somanagara yaitu seseorang pejuang kemerdekaan. Paling akhir, sang bapak dihukum buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda sampai wafat dunia disana. Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas serta Raden Somanagara. Walau tidak mematuhi kebiasaan waktu itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda juga. 

Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan jadi patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau memperoleh didikan tentang kesundaan, sedang pikiran kebudayaan Barat diperolehnya dari karena didikan seseorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda. Mulai sejak kecil, Dewi Sartika telah tunjukkan bakat pendidik serta kegigihan untuk mencapai perkembangan. Sembari bermain di belakang gedung kepatihan, beliau seringkali memperagakan praktek di sekolah, mengajari baca-tulis, serta bhs Belanda, pada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, serta pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar. 

Raden Dewi Sartika yang ikuti pendidikan Seko lah Basic di Cicalengka, mulai sejak kecil memanglah telah tunjukkan minatnya di bagian pendidikan. Disebutkan sekian karna mulai sejak anak-anak ia telah suka memainkan peran tingkah laku seseorang guru. Jadi contoh, seperti seperti anak-anak, umumnya sepulang sekolah, Dewi kecil senantiasa bermain sekolah-sekolahan dengan rekan-rekan anak wanita sepantarannya, saat itu ia begitu suka bertindak jadi guru. Saat itu Dewi Sartika baru berusia sekitaran sepuluh th., saat Cicalengka di gemparkan oleh kekuatan baca-tulis serta sebagian patah kata dalam bhs Belanda yang diperlihatkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karna di saat itu belum juga banyak anak-anak (terlebih anak rakyat jelata) mempunyai kekuatan sesuai sama itu, serta di ajarkan oleh seseorang anak wanita. 

Berfikir supaya anak-anak wanita di sekelilingnya dapat peroleh peluang menuntut ilmu dan pengetahuan, jadi ia berjuang membangun sekolah di Bandung, Jawa Barat. Saat itu, ia telah tinggal di Bandung. Perjuangannya tidak percuma, dengan pertolongan R. A. A. Martanegara, kakeknya, serta Den Hamer yang menjabat Inspektur Kantor Pengajaran saat itu, jadi pada th. 1904 dia berhasil membangun satu sekolah yang dinamakannya “Sekolah Isteri”. Sekolah itu cuma dua kelas hingga kurang untuk menyimpan semuanya kesibukan sekolah. Jadi untuk ruang belajar, ia mesti meminjam beberapa ruang Kepatihan Bandung. Awalannya, muridnya cuma dua puluh orang. Murid-murid yang cuma wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam serta pelajaran agama. 

Sekolah Istri itu selalu memperoleh perhatian positif dari orang-orang. Murid- murid jadi bertambah banyak, bahkan juga ruang Kepatihan Bandung yang dipinjam terlebih dulu juga kurang sekali lagi menyimpan murid-murid. Untuk mengatasinya, Sekolah Isteri juga lalu dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Bersamaan perjalanan saat, enam th. mulai sejak dibangun, pada th. 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbaharui jadi Sekolah Keutamaan Isteri. Perubahan bukan hanya pada nama saja, tapi mata pelajaran juga jadi bertambah. 

Ia berupaya keras mendidik anak-anak gadis supaya nantinya dapat jadi ibu rumah-tangga yang baik, dapat berdiri dengan sendiri, luwes, serta trampil. Jadi karenanya, pelajaran yang terkait dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikannya. Untuk menutupi cost operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semuanya jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi bertukar jadi kenikmatan batin karna sudah berhasil mendidik kaumnya. Satu diantara yang menaikkan semangatnya yaitu dorongan dari beragam pihak terlebih dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang sudah banyak membantunya wujudkan perjuangannya, baik tenaga ataupun pemikiran. 

Lepas dari bentuk atau langkah perjuangannya, seseorang pahlawan tentu sudah melakukan perbuatan suatu hal yang heroik untuk bangsanya sesuai sama keadaan jamannya. Sekian perihal dengan Raden Dewi Sartika. Bila pahlawan beda lakukan perjuangan untuk bangsanya lewat perang frontal seperti angkat senjata, Dewi Sartika pilih perjuangan lewat pendidikan, yaitu dengan membangun sekolah. Beragam tantangan, terutama di bagian pendanaan operasional sekolah yang dibangunnya seringkali dihadapinya. Tetapi karena kegigihan serta ketulusan hatinya untuk membuat orang-orang negerinya, sekolah yang dibangunnya jadi fasilitas pendidikan kaum hawa dapat berdiri selalu, bahkan juga jadi contoh di daerah yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar